Resplendent Heart
Debu-debu cahaya bertebaran di Gizmoa. Tak banyak dan hanya terlihat sesaat, tapi ada. Pemilik debu itu, seorang peri mungil, berlarian ke semua penjuru hutan dengan panik. Sejak pagi ia sudah begitu. Banyak yang menoleh heran padanya, tapi tak banyak yang nekad bertanya. Peri, dalam keadaan marah atau panik, berbahaya bagi banyak makhluk hidup.
“Halooo..!” seru peri itu pada beberapa Muphi yang sedang merumput. “Apakah kalian melihat milikku yang berharga? Kecil dan bercahaya—kira-kira sebesar ini?” Si peri menangkupkan tangannya untuk memberi tahu para Muphi tentang ukurannya.
“Tidak,” jawab seekor dari mereka. “Kau yakin milikmu yang berharga itu ada di sini?”
Si peri mengangguk pasti. “Ya. Aku yakin ia dibawa melewati tempat ini.”
“Kau ceroboh sekali!” omel seekor yang lain. “Mengapa sampai bisa kehilangan benda itu?”
Wajah si peri semakin murung. “Aku tidak tahu! Tadi malam kutaruh di sampingku, sebelum aku tidur, dan pagi-pagi sudah hilang. Seseorang telah mencurinya!”
Para Muphi berpandangan. Semua tahu kalau Peri tidur di atas jalinan benang halus keemasan yang dibuat dari debu-debu cahaya, yang mereka rajut sendiri, yang akan memudar dan hilang sepenuhnya menjelang matahari terbit. Tetapi peri yang satu ini, rupanya menaruh hatinya di samping tubuhnya semalam. Peri yang tidur tanpa hatinya akan bermimpi indah, banyak peri yang melakukannya, hanya saja yang satu ini bernasib malang. Hatinya dicuri.
“Siapa yang tega melakukannya?”
“Keji sekali!”
“Teganya!”
“Kau sendiri kenapa begitu ceroboh?”
“Aku tidak tahu!” ulang si peri, semakin panik. “Aku begitu ingin bermimpi, dan biasanya tidak ada apa-apa, tapi kali ini...”
Kumpulan itu semakin ramai. Sebagian menyalahkan si peri, dan sisanya memaki si pencuri. Tapi tak satu pun yang memberi petunjuk pada si peri mengenai hatinya yang hilang itu.
“Oh, sudahlah! Aku akan mencari lagi sebelum jejak cahayanya menghilang!” si peri akhirnya meninggalkan sekumpulan Muphi itu, ke arah ceceran debu cahaya yang menempel di rumput, tanah, batu, daun dan batang pohon, yang diikutinya sepanjang pagi ini. Ceceran ini pasti berasal dari hatinya dan ia tahu pasti, kalau jejak cahaya ini habis, berarti hatinya sudah kehilangan cahaya, dan itu berarti...
Tidak! Tidak! Si peri menggelengkan kepalanya, merasa ngeri. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau cahayanya habis!
Jejak itu membawa si peri ke arah pinggiran hutan. Oh tidak, batinnya dengan gelisah. Di luar Gizmoa sihir akan memudar...kekuatanku akan terkikis...dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai hatiku jatuh ke tangan manusia...
PLAK!!
Sebuah sulur menghantam tanah di sebelahnya dan si peri terlonjak kaget. Ia menoleh ke arah datangnya sulur. Hanya Bubaglop tua yang jahil. Mereka tidak suka makan peri, karena darah peri pahit rasanya. Tapi Bubaglop yang satu ini senang menakuti peri-peri.
“Jangan ganggu aku!” teriak si peri marah, lalu terbang lebih tinggi.
Bubaglop itu tidak peduli, malah mengejar si peri dengan sulur-sulurnya, semakin tinggi melewati dahan, batang dan rumpun dedaunan, berlomba dengan sayap mungil si peri. Beberapa bagian pepohonan rusak tertampar sulur dan berjatuhan ke tanah. Sial bagi si Bubaglop, peri kecil itu terlalu lincah baginya. Ia lolos.
Melayang di tepi hutan, si peri kebingungan.
Apa yang harus kulakukan sekarang? keluhnya putus asa. Seandainya saja tadi malam aku tidak melepaskan hatiku!
Ia turun ke atas sebuah batu besar, duduk di sana. Letih dan bingung membuatnya tak tahu harus mencari ke mana lagi, karena sihir memudar di luar hutan Gizmoa, sehingga jejak cahaya tak terlihat lagi sekarang. Tak tahan lagi, peri mungil itu menangis tersedu-sedu.
“Kau kenapa?”
Sebuah suara terdengar. Si peri menurunkan tangannya dan langsung terlonjak. Ada sebuah wajah berbintik-bintik yang begitu dekat dengan tubuhnya. Rambutnya merah ikal. Tampangnya bandel.
“Ah!!”
“Jangan takut begitu, memangnya aku seseram itu?” sahut anak laki-laki itu kesal. “Tampangku tidak seseram Arugis, atau kau mau bandingkan aku dengan wajah Tuan Bitsenbol di Arian, kau tahu—yang menjual senjata itu? Wajahnya terbakar semasa muda dan lihat saja sekarang, hantu pun terbirit-birit kalau berpapasan dengannya! Tapi masih belum ada apa-apanya kalau dibandingkan Nenek Gerilda! Bayangkan, dia...”
“Kau membuatnya bingung, Kid,” sebuah tangan menarik wajah itu pergi, dan wajah lain menggantikannya. Seorang pemuda berwajah tegas dengan rambut coklat tua yang sedikit terlalu panjang. Sejujurnya, wajah ini lebih membuat si peri takut, tapi daripada anak laki-laki tadi ia lebih suka bicara dengan si pemuda.
Si peri menatap dengan air mata yang masih bergulir di pipi.
“Jangan takut,” kata si pemuda. “Namaku Dios. Apa yang membuatmu menangis?”
Kebingungan semakin melanda si peri. Manusia ini mengajaknya bicara! Sungguh in ingin, tapi bagaimana caranya? Ia berusaha, dengan suara keras, menjawab pertanyaan pemuda bernama Dios itu, tapi sia-sia. Ada ikatan sihir yang membuat manusia dan peri tidak akan bisa berbicara secara verbal. Keputusasaan ini membuatnya menangis lagi.
“Hei, jangan menangis lagi. Kurasa aku tahu apa yang terjadi padamu,” kata Dios. “Kau kehilangan hatimu, bukan?”
Si peri terheran-heran. Bagaimana manusia ini bisa tahu?
“Cahayamu sangat pudar. Pasti hatimu tidak sedang berada di dalam tubuhmu, bukan?”
Si peri mengangguk. Darimana kau tahu?
“Kau lihat kristal ini?” Dios menunjuk kristal bening yang menempel di pangkal pedangnya. “Ini kristal es, dibuat oleh Ratu Peri. Karena kekuatan peri menempel di sana, aku bisa berkomunikasi dengan peri. Tidak banyak, tapi lumayanlah.”
Ooohh! Aku lega sekali!
Dios tersenyum. “Jangan khawatir. Kurasa aku tahu ke mana hatimu dibawa pergi.”
Benarkah?
Dios mengangguk, lalu menghunus pedangnya, menyentuhkannya ke tanah dengan kedua tangan di gagangnya. Setelah beberapa saat ia mengayunkan pedangnya, hembusan hawa dingin membuat rerumputan membeku di banyak titik, mengurung titik-titik cahaya di dalam kristal es.
Jejak cahaya! Kau membuatnya terlihat, terimakasih banyak! Si peri girang bukan buatan.
“Nah, ayo kita cari hatimu!” Dios berjalan mengikuti jejak cahaya yang membeku itu, melintasi padang rumput, diikuti si peri yang terbang di atasnya dengan lega.
“Lho? Hei.. mau ke mana kalian? Halooooo??!” Kid menghentakkan sebelah kakinya dengan kesal, apalagi karena baik Dios maupun si peri sama sekali tidak berpaling. Jengkel, akhirnya ia berteriak, “Dios! Aku tunggu di sini saja! Aku mau tidur!”
Dios hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa menoleh. Kid menghela nafas. Tak ada gunanya mengikuti mereka!
Sementara itu jejak cahaya membawa mereka ke sebuah pondok tak jauh dari tepi hutan, bersinggungan dengan padang rumput yang sangat luas. Di kejauhan, puncak bebukitan berpendar oleh sinar matahari yang bergeser ke peraduannya. Si peri mulai disergap gelisah, tahu waktunya tak banyak lagi. Kalau hati itu tidak bisa kudapatkan sebelum malam tiba...
“Lihat, ada sebuah pondok di sana,” Dios berkata padanya. “Kristal-kristal emas ini menuju ke sana. Kau pasti bisa temukan hatimu di sana!”
Si peri tersenyum tipis.
Mereka tiba di pintu pondok yang lengang itu. Dios mengetuk pintu.
Sebuah suara serak menjawab, “Siapa?”
“Aku seorang pengembara, bersama temanku, aku ingin bertanya barang sejenak!”
Pintu itu berderit keras ketika dibuka. Seorang lelaki separuh baya muncul di pintu, badannya kurus dan matanya letih. “Ada apa?” tanyanya. Tetapi sebelum Dios sempat menjawab, ia melihat si peri, dan langsung berseru, “Kau tidak mengatakan temanmu seorang peri!”
Ia langsung menutup pintu, tetapi tangan Dios yang kekar menahan pintu itu tetap terbuka, dan ia memaksa masuk. Si peri dengan mudah terbang di antara celah.
“Keluar! Keluar kau dari rumahku!”
Baik Dios maupun si peri tidak menggubrisnya.
Rumah itu kecil saja, hanya satu ruangan luas. Di sudut, di atas pembaringan, seseorang terbujur. Si peri langsung terbang ke sana, dan Dios tahu kenapa.
Seorang wanita yang kelihatan sangat sakit balas menatap mereka dengan lemah. Di tangannya ada sesuatu yang mungil dan bercahaya. Mengertilah si peri. Laki-laki tadi memerlukan hati peri untuk menyembuhkan istrinya.
Hatiku...
Hati itu menatapnya penuh kerinduan.
“Mengertilah...” ucap si lelaki. “Aku sangat mencintainya. Takkan mungkin aku hidup tanpanya, karena itulah kucuri hatimu...”
Si peri masih menatap hatinya.
“Separuh hidup kuhabiskan bersama istriku, belahan jiwaku, aku ingin mati lebih dulu darinya... tetapi penyakit ini, tidak hanya menggerogoti hidupnya, tetapi hidupku juga...”
Dios bisa melihat hati itu berdenyut lemah. Seakan tahu sebentar lagi takdirnya bisa berubah. Matahari mulai tenggelam di puncak bebukitan. Hati sang peri mulai meredup. Mereka terbenam dalam hening.
“Maafkan aku,” akhirnya si lelaki berkata. Ia meraih hati itu, lalu diserahkannya pada si peri. “Maafkan aku karena telah mencuri hatimu. Kulakukan itu hanya untuk membelokkan takdir yang menimpa kami. Tetapi sekarang aku menyerah, akan kuhadapi saja takdir itu..”
“Kau yakin?” Dios bertanya. Ia menatap istri lelaki itu, yang balas memandangnya dengan nafas terputus-putus. Wanita ini sedang sekarat. Pantas saja suaminya mencari hati peri. Menelan hati peri akan membuat semua sakitnya sirna.
Air mata menggenangi sudut matanya ketika berkata,” Ya. Usia bukan sahabat kami lagi sekarang. Tetapi kami masih punya cinta. Setidaknya kami masih bisa berbagi cinta di ujung usianya.”
Tangannya terulur. Hati si peri berpendar penuh harapan, menginginkan tempatnya semula di dalam tubuh si peri.
Lama mereka terdiam.
“Ambillah,” bisik si lelaki.
Tetapi si peri menggeleng. Tidak. Selamatkanlah istrimu. Dengan pedih ditatapnya hatinya.
Selamat tinggal....
Lelaki itu tercengang, lalu menangis bahagia. “Terima kasih! Terima kasih banyak!”
Dan peri itu, bersama Dios, pergi.
Matahari sudah digantikan bulan ketika mereka melintasi padang dalam perjalanan kembali ke Gizmoa. Bulan yang terindah yang pernah disaksikan Dios seumur hidupnya. Ditatapnya si peri.
“Kau cantik sekali,” ucapnya heran. Rasanya tadi si peri tidak secantik tadi.
Si peri tersenyum, dan Dios terpesona melihatnya.
“Kau tidak apa-apa? Maksudku, menyerahkan hatimu seperti itu...”
Si peri meletakkan tangannya di bibir Dios.
Jangan bicara lagi.. aku ingin berterima kasih padamu..
“Untuk apa? Aku tidak berhasil membuatmu memperoleh kembali hatimu.”
Terimakasih untuk kebaikanmu hari ini. Dios, ketahuilah, tak ada peri yang akan bisa bertahan hidup tanpa hatinya.
“Apa?!” Dios terkejut. “Lalu kenapa kau berikan hatimu padanya?”
Si peri menghela nafas, lalu di antara senyumnya, sebutir air mata melintasi pipi mungilnya. Wanita itu lebih membutuhkannya. Tak bisakah kaulihat cinta di antara mereka?
“Tapi menyerahkan hatimu berarti kau..”
Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Tapi aku masih punya sisa sihir, akan kuberikan padamu... kau akan mendapatkan seorang gadis yang sangat istimewa, jagalah dia. Nah, selamat tinggal...
Si peri mencium pipi Dios, lalu tersenyum untuk terakhir kalinya. Perlahan, tubuhnya memudar, mengurai menjadi debu cahaya yang sangat banyak, yang terbang perlahan ke angkasa.
Dios menatap langit. “Selamat jalan...”
Padang rumput itu senyap kembali.
Jakarta. 15 Mei 2007. To my sanctuary.
May 15, 2007 Permalink
Book review: Pennyblade by J.L. Worrad (reviewed by Adam Weller)
-
*Book links: *Amazon, Goodreads
*ABOUT THE AUTHOR:* J.L Worrad lives in Leicester, England, and has for
almost all his life. He has a degree in classica...
2 days ago
No comments:
Post a Comment